Sabtu, 03 Oktober 2009

PERAN ORANG PERCAYA (KRISTEN) UNTUK MORALITAS BANGSA



Di zaman modernisasi ini, kehidupan umat manusia begitu memprihatinkan bahkan sangat mengerikan. Tawuran pelajar, pergaulan & sex bebas, narkoba, dll. seakan-akan sudah menjadi pola atau gaya hidup umat manusia saat ini. Hal ini telah membuat bangsa kita terperosok dalam keterpurukan. Bahkan akhir-akhir ini banyak orang yang mulai kehilangan kesadaran dan mulai hidup berdasarkan naluri alamiah semata. Orang yang lapar mulai mencari makan dengan cara apa saja, tidak peduli secara baik atau buruk, asal perut kenyang. Orang yang marah melapiaskan saja kemarahannya dengan cara apa saja kepada siapa saja. Dan telah lahir aneka kebiadaban dalam masyarakat kita, yang makin memperhebat keterpurukannya. Orang mulai melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Mereka mulai membenarkan permainan judi, perceraian, sex bebas, persundalan, perzinahan, dll. Semua hal-hal yang selama ini dianggap tidak bermoral mulai dijadikan moralitas. Hal ini memberi bukti dan indikasi kepada kita bahwa telah terjadi kemerosotan rohani dan moral pada sebagian umat manusia di bangsa ini.


Semua ini berawal dari era kebebasan yang menurut saya sudah kebablasan. Sehingga moralitas telah kehilangan maknanya. Orang mulai berbuat semaunya saja tanpa menghargai keberadaan orang lain. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di bangsa kita akhir-akhir ini, yakni aksi terorisme, pembunuhan, perampokan, perkosaan, yang benar disalahkan demikian juga sebaliknya, semuanya menunjuk kepada kenyataan bahwa sebagian orang sudah tidak lagi menghargai keberadaan orang lain. Tidak ada lagi nilai yang dijunjung bersama. Masing-masing pihak berusaha untuk menerapkan aturannya sendiri dan merasa aturannya sebagai kebenaran. Dengan demikian masing-masing pihak bebas mengatur dirinya menurut ukuran moralitasnya sendiri. Suka atau tidak suka, kita sedang berada di tempat dimana orang mulai mempercayai bahwa setiap orang punya wewenang untuk menetukan apa yang baik atau apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah bagi dirinya sendiri, seperti yang terjadi di zaman Hakim-hakim “Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim 21:25).


Memang disatu sisi, setiap orang bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Setiap orang wajib memilih serta memutuskan nilai dan norma yang baik serta hidup sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Namun disisi lain, setiap orang terikat pada sesama. Karena dengan membentuk identitas diri sendiri, ia turut membetuk identitas orang-orang disekitarnya dan juga dibentuk oleh mereka. Karena semua nilai dan norma dapat dia pelajari dari masyarakat atau komunitas dimana ia selalu berada. Dari situ nyatalah bahwa manusia sebagai mahkluk sosial dapat mempelajari perilaku sosial melalui interaksinya dengan orang lain dan melalui proses interaksi tersebut manusia malakukan interpretasi dalam rangka membentuk konsep diri.


Faktor lain yang menyebabkan moralitas bangsa kita terpuruk adalah akibat mass media. Mengapa? Masyarakat terus saja dicecoki suguhan yang mengandung unsur imoralitas. Bahkan begitu banyak sajian gambar yang tidak ada nilai moralitasnya ditayangkan di bioskop, video, VCD, atau TV, yang telah mematikan hati nurani umat manusia dan telah melunturkan nilai-nilai kekristenan. Sehingga pemikiran atau pengertian yang jorok telah tertanam di dalam masyarakat kita.


Banyak orang berpikir dan mengira bahwa ini hanya dilakukan oleh orang-orang non Kristen saja. Tetapi kenyataannya ini juga dilakukan oleh orang-orang Kristen yang mengaku dirinya percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal ini memang pekerjaan Iblis yang senantiasa menipu dan mau menguasai pikiran manusia agar tidak lagi memikirkan hal-hal rohani. Iblis secara aktif ikut terlibat dalam usaha mencoba mengalihkan pikiran orang percaya agar tidak menempuh kehidupan dengan iman kepada Kristus. Iblis melakukannya dengan jalan memasukkan pikiran dan gagasannya kedalam pikiran manusia. Ia gigih berusaha menanamkan pola pikir dunia yang negatif kedalam pikiran manusia. Iblis yang adalah musuh kita bertekad bulat untuk mencengkeram fungsi pemikiran ini sampai akhirnya betul-betul lumpuh dan tidak mampu menuruti kehendak Allah. Semuanya ini telah membawa manusia kepada pencarian jati diri melalui hal-hal yang salah. Anak-anak muda tidak lagi ingin tunduk kepada kekuasaan orang tua, perintah guru, atau pihak-pihak yang biasa mengaturnya. Mereka mulai hidup “semau gue”


Melihat realita ini, kita perlu mempertanyakan peran orang percaya. Apakah kita terus berdiam diri saja? Apakah kita tega membiarkan umat manusia terpuruk dalam imoralitas? Jika memang ada dan orang percaya harus berperan, peran apakah yang harus dilakukan oleh orang percaya untuk menghambat imoralitas? Kita tidak boleh berdiam diri dan berpangku tangan saja melihat semua ini. Kita harus mengambil bagian untuk menciptakan moralitas yang baik bagi bangsa ini.


Saya melihat bahwa, apa yang terjadi di bangsa ini, yakni mulai terpuruknya moralitas adalah kesalahan kita orang percaya. Kita lebih banyak berdiam diri. Kita tidak merealisasikan fungsi kita sebagai garam dan terang dunia. Kita juga telah gagal mematuhi dan melakukan mandat kultural Alkitab untuk melibatkan diri dalam setiap bidang kegiatan dalam masyarakat dimana kita berada. Kita lebih banyak menarik diri dari berbagai kegiatan, karena mungkin kita anggap sebagai hal-hal yang tidak bisa dilakukan, dan kita membiarkan semuanya itu kepada orang-orang yang tidak percaya dan tidak bertanggung jawab.


Kita orang percaya telah gagal memenuhi tanggung jawab. Kita gagal mematuhi perintah Kristus untuk menggarami, menerangi dan menjadikan semua bangsa muridNya. Memang hal ini sangat dilematis bagi orang percaya. Karena disatu sisi, kita dituntut untuk berbeda dengan dunia ini. Bahkan pengertian garam dan terang juga menunjukkan bahwa kita jangan menjadi sama dengan dunia ini. Tetapi bagaimana kita bisa mengubah perilaku dari masyarakat jika kita tidak berbaur dengan mereka? Bagaimana kita bisa menerangi dan menggarami jika kita hanya berdiam diri saja, tinggal di rumah dan hanya menyaksikan tontonan imoralitas yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat kita?


Sebagai orang percaya, kita harus berusaha supaya pengaruh Yesus Kristus dapat dirasakan di setiap aspek kegiatan dalam masyarakat kita. Sebagai garam, orang percaya harus melindungi supaya yang baik tidak membusuk. Kita harus membuktikan bahwa kita adalah pelindung norma dan moralitas bangsa. Kita tidak boleh membiarkan orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri.


Oleh karena itu, sebagai orang Kristen – pengikut Kristus - kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan Kristus dalam masyarakat dimanapun kita berada. Karena tidak ada siapapun selain Yesus Kristus yang cukup benar, berkuasa, dan kuat serta pengasih, untuk bisa menciptakan tatanan moral yag harus dipatuhi. Moralitas tidak bisa dipisahkan dengan Yesus Kristus. Kristus secara mutlak diperlukan dalam moralitas. Karena tidak ada teori moral yang baik yang bisa timbul dari orang yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan (ateisme). Dasar moralitas adalah keberadaan Kristus. Tanpa kristus, tidak ada lagi tolok ukur yang obyektif diluar diri kita sendiri.


Faktor utama lunturnya moralitas dalam masyarakat kita adalah karena begitu banyak orang yang tidak mengenal kasih Kristus dan mereka juga tidak mengenal pesan Alkitab yang telah memberi kepada dunia suatu tatanan moralitas tertinggi dan yang harus diikuti. Mereka tidak menyadari dan tidak mengetahui bahwa Alkitab adalah pemandu yang pasti dan akurat untuk yang benar dan yang salah.


Kita harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi (rasa percaya diri yang didasarkan kepada kepercayaan kita kepada Kristus), bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku dalam masyarakat. Kita dapat membantu dan membentuk masyarakat dalam komunitas kita menjadi pribadi-pribadi yang berkembang baik. Dan ini membutuhkan orang percaya yang sadar akan tugas dan tanggung jawabnya serta berkomitmen tinggi dan bersedia untuk selalu mendampingi serta berbaur dengan masyarakat disekitarnya dengan harapan dan tujuan agar mereka tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Orang percaya – dengan pertolongan Roh Kudus – pasti sanggup membantu masyarakat untuk menemukan arus balik yang bisa membawa mereka pada nila-nilai yang diwariskan oleh ajaran Kristus. Kontribusi yang paling berharga yang dapat diberikan orang percaya kepada masyarakat adalah dengan menanamkan iman yang sejati pada Allah dalam diri mereka.


Firman Tuhan mengajarkan kepada kita, bahwa kita harus hidup dalam dunia ini, tetapi tidak ambil bagian dalam kejahatan-kejahatan dunia ini. Kita harus menjadi berbeda dengan dunia ini (Roma 12:2). Kita harus terpisah dari dunia kejahatan. Jika kita sedang diperhadapkan dengan hal-hal duniawi, tanyakanlah pada diri kita: “Apakah ini melanggar prinsip Alkitab? Apakah ini akan merusak kehidupan iman Kristen ku? Dapatkan aku memperoleh berkat Tuhan dibalik semua ini? Apakah ini akan menjadi batu sandungan bagi orang lain?


Keduniawian tidak akan pernah menimpa kita secara mendadak. Tetapi cara kerjanya akan seperti tetesan air yang secara perlahan-lahan tetapi pasti melubangi batu yang ditetesinya. Dunia dengan segala kekuatan, rayuan dan pengaruhnya akan terus menekan kita setiap hari. Kebanyakan kita akan takluk jika Roh Kudus tidak hidup di dalam kita, menopang dan memelihara kita.


Jadilah benteng untuk moralitas bangsa. Dengan demikian kita bisa merealisasikan fungsi kita sebagai garam dan terang dunia. Dan kita bisa membuat bangsa ini sebagai bangsa yang bermoral. *****

Kamis, 01 Oktober 2009

SEBUAH RENUNGAN TENTANG PENGAMPUNAN (kristiani)


Pengampunan adalah perintah Allah, “sabarlah kamu seorang akan yang lain dan ampunilah seorang akan yang lain. Apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuatlah juga demikian” (Kolose 3:13).
Menjalin kembali hubungan dengan mereka yang terpisah dari kita apalagi disebabkan karena suatu persoalan atau pertengkaran memang akan mengalami kesulitan. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Betapapun cara kita melakukannya, kita harus berusaha sedapat-dapatnya untuk memulihkan persekutuan dengan orang-orang yang mungkin telah lama terpisah dengan kita.

Kisah berikut ini yang saya baca dalam sebuah artikel yang menceritakan tentang pengampunan yang berdampak kepada pemulihan dan kedamaian dalam keluarga.

Ada suatu keluarga yang mengalami hal ini. Mereka adalah keluarga yang takut akan Tuhan. Tetapi mereka diizinkan Tuhan untuk mengalami suatu masalah dalam keluarga yang seharusnya bisa membuat mereka tidak mengampuni apa yang telah dilakukan oleh Ayah mereka. Tetapi karena mereka takut akan Tuhan dan percaya bahwa hanya dengan mengampuni, mereka akan tetap hidup dalam suasana damai sejahtera.
"Tujuh belas tahun yang silam, tanpa sebab yang jelas Ayah meninggalkan kami. Pada waktu itu saya baru berumur lima Tahun. Saya tinggal bersama dengan Ibu dan kakak perempuan saya.
Sebelum Ayah pergi, ibu hanya tinggal di rumah mengurus kami berdua sebagai Ibu rumah tangga yang baik, meskipun sebenarnya ia adalah seorang sarjana ekonomi. Ayah memang tidak mengijinkan Ibu bekerja, karena penghasilan Ayah saja sudah mencukupi kebutuhan kami sekeluarga, bahkan kami bisa membeli sebuah sepeda motor.
Saya tidak pernah mengira kalau Ayah akan meningalkan kami. Saya tahu persis Ayah dan Ibu tidak pernah bertengkar. Mereka rajin beribadah kepada Tuhan. Setiap hari minggu Ayah selalu mengajak kami semua untuk pergi ke gereja. Dan setiap malam sebelum kami beranjak tidur, Ayah selalu mengajak kami untuk bersaat teduh dan berdoa bersama.
Sampai suatu hari Ayah meninggalkan kami tanpa sebab yang jelas. Tak ada pesan. Tak ada ciuman seperti biasanya bila ia akan meninggalkan kami. Kami sangat bingung dan kuatir. Ibu bertanya kepada teman-teman kantor Ayah dan juga para saudara, tetapi mereka juga tidak tahu kemana Ayah pergi. Setiap senja kami menunggu kalau-kalau Ayah pulang, namun kami selalu teridur dengan rasa kecewa.
Waktu beralu demikian berat tanpa kehadiran seorang Ayah yang baik dan penuh perhatian. Ibu memutuskan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan kami. Tetapi, Ibu juga tak pernah melalaikan kami anak-anaknya. Perhatian Ibu selalu cukup bagi kami. Kami juga tak pernah melupakan Tuhan. Kami rajin beribadah meskipun tanpa Ayah. Setiap malam kami juga tetap bersaat teduh dan berdoa. Kami selalu menangis bila berdoa untuk Ayah.
Tahun-tahun telah berlalu, tetapi Ayah tak juga pulang. Teman-teman Ibu dan juga para saudara menyarankan agar Ibu menikah lagi dan berhenti mengharapkan Ayah kembali. Namun Ibu selalu menolak. Ibu selalu mengatakan bahwa janji pernikahan yang diucapkan di depan Tuhan hanya boleh dipisahkan oleh kematian dan Ibu yakin Ayah masih hidup disuatu tempat. Ibu memilih sendiri membesarkan kami berdua. Ibu tak pernah menyalahkan kepergian Ayah. Ibu selalu yakin bahwa semua yang terjadi tak lepas dari campur tangan Allah dan semua itu terjadi pasti ada maksud Tuhan yang tersembunyi. Ibu juga menasehati kami agar tidak mendendam kepada Ayah, tetapi agar kami mengampuninya bila kelak ia kembali. Kami terus berharap dan setia menunggu jawaban dari Tuhan.
Seperti seorang janda dalam Lukas 18:1-8, yang tak pernah lelah meminta kepada seorang hakim yang lalim. Kami percaya Tuhan Yesus yang jauh lebih baik akan mengabulkan doa kami.
Tujuh belas tahun telah genap. Kakak sudah menjadi dokter dan saya sudah duduk di semester akhir fakultas hukum. Kami tahu betapa berat jalan yang sudah kami lewati. Meskipun demikian kami tetap berdoa untuk Ayah. Kami rindu Ayah dapat berkumpul kembali bersama kami sebelum saya di wisuda nanti.
Suatu malam, ketika kami baru saja menyelesaikan waktu teduh kami, pintu diketuk seseorang. Ibu membukanya. Sesaat kami melihat Ibu tertegun. Kami segera berdiri dan ingin tahu siapa yang datang. “Ayah…!” saya dan kakak berteriak dan segera berlari memeluk Ayah. Meskipun ia kelihatan tua, tetapi kami tidak melupakan wajahnya. Malam itu kami menumpahkan segenap kerinduan yang telah begitu lama tersimpan. Kami tidak menanyakan kenapa Ayah pergi. Kami percaya bahwa itu diijinkan Tuhan terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi kami. Asal kami tidak menjadi lemah, Tuhan Yesus akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya".

Ddari cerita diatas, benarlah bahwa yang mungkin sering kita lupakan, bahwa doa dan pergumulan kita akan berakhir dengan kebahagiaan asal kita telah siap menerima jawabab atas doa kita. Bila Anda ditinggalkan, disakiti oleh orang yang Anda kasihi dan Anda ingin ia kembali, terlebih dahulu Anda harus mengampuninya dan siap menyambutnya sebagaimana ia sebelum meninggalkan dan menyakiti Anda.

Kepahitan hidup terkadang demikian dalam dan sangat menyakitkan, sehingga teramat sulit untuk mengampuni mereka yang menimbulkan kepahitan tersebut. Namun Yesus berkata bahwa kita tidak akan mengalami pengampunanNya bila kita tidak memiliki roh yang mengampuni.

Pada Perang Dunia II, Corrie Ten Boom dan saudara perempuannya Betsie ditahan karena menyembunyikan orang Yahudi dan dikirim ke suatu kamp konsentrasi di Jerman. Betsie akhirnya meninggal perlahan-lahan dan menggenaskan akibat perlakuan kejam yang dialaminya.
Kemudian, pada tahun 1947, Corrie berbicara tentang pengampunan Allah di sebuah gereja di Munich. Setelah itu, seorang pria mencarinya. Ia mengenali pria tersebut sebagai salah seorang pengawal yang memperlakukan Betsie dan dirinya secara kejam. Pria itu mengatakan bahwa ia telah menjadi seorang Kristen, dan dengan tangan terulur pria tersebut memohon pengampunannya.
Corrie bergumul dengan perasaannya, namun ketika ia ingat akan kata-kata Yesus dalam Matius 6:15, ia tahu bahwa ia harus mengampuni. Ia berdoa dalam hati, "Yesus, tolonglah saya!" dan mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan orang yang dahulu menyiksanya. (sabda)

Memang sikap pengampunan itu sulit karena kecenderungan manusia itu adalah sikap untuk membalaskan dendam. Maka tidak heranlah, banyak terjadi perang antar keluarga, antar suku, antar kelompok yang diawali oleh karena konflik individu dan tidak diselesaikan dengan suatu perdamaian, karena tidak mau mengampuni.

Salah satu karakteristik dari orang percaya adalah mau mengampuni. Seorang mahasiswa sebuah seminari di selatan Chicago biasanya mengemudikan bis dalam perjalanan ke sekolah. Pada satu hari, komplotan pemuda yang bengis naik ke bisnya dan menolak untuk membayar ongkos. Pemuda ini segera menghentikan bisnya setelah melihat seorang polisi dan melaporkan gerombolan pemuda berandal ini. Setelah berhasil menyuruh mereka membayar, polisi itu pun pergi. Ternyata setelah membelok di sebuah tikungan, gerombolan tersebut menghentikan bis dan memukuli pemuda itu berulang kali.
Komplotan ini berhasil ditangkap, diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Segera setelah hukuman mereka diumumkan, mahasiswa tersebut meminta izin kepada hakim untuk melayani mereka selama di penjara. Hakim dan anggota komplotan itu menjadi terkejut. "Hal ini saya lakukan karena saya mengampuni mereka," jelasnya. Permintaannya ditolak, namun pada bulan-bulan berikutnya, ia mengunjungi anak-anak muda ini dan berhasil membawa beberapa dari mereka untuk percaya kepada Yesus Kristus.

Ketika saudara-saudara Yusuf berdiri di hadapannya di Mesir untuk meminta makanan, Yusuf menghadapi pergumulan yang berat. Bertahun-tahun yang silam, orang-orang inilah yang telah merencanakan untuk membunuhnya, dan sekalipun akhirnya mereka berubah pikiran, mereka menjualnya sebagai budak. Saat ini Yusuf berada dalam posisi memegang kekuasaan dan memiliki kesempatan untuk membalas dendam.
Yusuf dikisahkan menangis dalam beberapa pasal, dalam beberapa keadaan. Ini mau menunjukkan bahwa pengampunan itu memang bukan sesuatu hal yang mudah. Yusuf diperhadapkan dengan situasi dimana ia harus mengampuni saudara-saudaranya yang telah membuatnya menderita bertahun-tahun; mereka berniat untuk membunuhnya, memasukkannya kedalam sumur, bahkan akhinya menjualnya sebagai budak.
Dapat kita bayangkan bagaimana Yusuf berseru meminta pertolongan ketika ia di dalam sumur, bagaimana ia sedang menangis ketika mulai diikat dan sebagai budak mulai diseret oleh yang membelinya.
Sebenarnya dengan mudah, yusuf bisa saja memanggil pengawalnya dan menghukum mereka sebagai mata-mata dan menyelesesaikan dendamnya. Tetapi Yusuf mengambil suatu keputusan yang luar biasa, yakni mengampuni saudara-saudaranya. Dan sebagai akibatnya, keluarga besar Yusuf dipulihkan. Dan keluarga Yakub pun mendapatkan tanah penggembalaan di Gosen.

Lepaskan pengampunan, maka Tuhan akan memberkati engkau dan pasti kehidupanmu akan senantiasa diwarnai dengan sukacita dan damai sejahtera.
Apakah Anda telah melakukan kesalahan? Sebagaimana Anda percaya bahwa Kristus mengampuni Anda, mintalah kepadaNya kemampuan untuk mengampuni orang lain.

"Janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu" (Efesus 4:26).
Dan Yakobus memberi kita bimbingan yang bijaksana ketika ia berkata agar kita,
"hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah" (Yakobus 1:19-20).
Jangan lupa bahwa,
"Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah pembunuh manusia" (1Yohanes 3:15). Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk tidak pernah membesarkan buah kebencian yang pahit!
“Segala kepahitan (kebencian), kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef. 4:31-32).
“Karena itu sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain, apabila seorang menaruh dendam terhadap yang lain sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian dan diatas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan (Kol. 3:12-14)
“Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: aku menyesal, engkau harus mengampuni dia (Lukas 17:4).

Alkitab memiliki jawaban terbaik terhadap pertanyaan bagaimana mengampuni, yakni: Dengan mengampuni orang lain sebagaimana Allah telah mengampuni kita.
Pikirkanlah tentang karunia dan pengampunan Allah yang telah diberikan kepada kita melalui pengorbanan Kristus di atas kayu salib ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Pikirkanlah tentang Yesus saat Dia berdoa bagi penyalib-Nya, "Bapa, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34). Pikirkanlah tentang pengampunan yang diberikan Allah kepada kita ketika kita bertobat dan mengakui dosa-dosa kita (1Yohanes 1:9). Pikirkanlah tentang bagaimana Roh Kudus menolong kita melaksanakan perintah Paulus, "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu" (Efesus 4:32).

Sebenarnya, kita tidak membutuhkan teknik baru tentang pengampunan. Metode kuno ini, metode Allah, benar-benar ampuh bila kita mau menggunakannya dengan sungguh-sungguh.
Saya tidak mengatakan, bahwa mengampuni itu mudah. Mengampuni itu adalah suatu keputusan yang berat namun harus dilakukan.
Jika pengampunan sungguh-sungguh diterapkan, maka perang, balas dendam, akar pahit, permusuhan, pertikaian, kebencian tidak akan terjadi.

Selamat menjalani kehidupan baru dengan dengan prinsip yang baru "PENGAMPUNAN"