Sabtu, 03 Oktober 2009

PERAN ORANG PERCAYA (KRISTEN) UNTUK MORALITAS BANGSA



Di zaman modernisasi ini, kehidupan umat manusia begitu memprihatinkan bahkan sangat mengerikan. Tawuran pelajar, pergaulan & sex bebas, narkoba, dll. seakan-akan sudah menjadi pola atau gaya hidup umat manusia saat ini. Hal ini telah membuat bangsa kita terperosok dalam keterpurukan. Bahkan akhir-akhir ini banyak orang yang mulai kehilangan kesadaran dan mulai hidup berdasarkan naluri alamiah semata. Orang yang lapar mulai mencari makan dengan cara apa saja, tidak peduli secara baik atau buruk, asal perut kenyang. Orang yang marah melapiaskan saja kemarahannya dengan cara apa saja kepada siapa saja. Dan telah lahir aneka kebiadaban dalam masyarakat kita, yang makin memperhebat keterpurukannya. Orang mulai melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Mereka mulai membenarkan permainan judi, perceraian, sex bebas, persundalan, perzinahan, dll. Semua hal-hal yang selama ini dianggap tidak bermoral mulai dijadikan moralitas. Hal ini memberi bukti dan indikasi kepada kita bahwa telah terjadi kemerosotan rohani dan moral pada sebagian umat manusia di bangsa ini.


Semua ini berawal dari era kebebasan yang menurut saya sudah kebablasan. Sehingga moralitas telah kehilangan maknanya. Orang mulai berbuat semaunya saja tanpa menghargai keberadaan orang lain. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di bangsa kita akhir-akhir ini, yakni aksi terorisme, pembunuhan, perampokan, perkosaan, yang benar disalahkan demikian juga sebaliknya, semuanya menunjuk kepada kenyataan bahwa sebagian orang sudah tidak lagi menghargai keberadaan orang lain. Tidak ada lagi nilai yang dijunjung bersama. Masing-masing pihak berusaha untuk menerapkan aturannya sendiri dan merasa aturannya sebagai kebenaran. Dengan demikian masing-masing pihak bebas mengatur dirinya menurut ukuran moralitasnya sendiri. Suka atau tidak suka, kita sedang berada di tempat dimana orang mulai mempercayai bahwa setiap orang punya wewenang untuk menetukan apa yang baik atau apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah bagi dirinya sendiri, seperti yang terjadi di zaman Hakim-hakim “Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hakim 21:25).


Memang disatu sisi, setiap orang bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Setiap orang wajib memilih serta memutuskan nilai dan norma yang baik serta hidup sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Namun disisi lain, setiap orang terikat pada sesama. Karena dengan membentuk identitas diri sendiri, ia turut membetuk identitas orang-orang disekitarnya dan juga dibentuk oleh mereka. Karena semua nilai dan norma dapat dia pelajari dari masyarakat atau komunitas dimana ia selalu berada. Dari situ nyatalah bahwa manusia sebagai mahkluk sosial dapat mempelajari perilaku sosial melalui interaksinya dengan orang lain dan melalui proses interaksi tersebut manusia malakukan interpretasi dalam rangka membentuk konsep diri.


Faktor lain yang menyebabkan moralitas bangsa kita terpuruk adalah akibat mass media. Mengapa? Masyarakat terus saja dicecoki suguhan yang mengandung unsur imoralitas. Bahkan begitu banyak sajian gambar yang tidak ada nilai moralitasnya ditayangkan di bioskop, video, VCD, atau TV, yang telah mematikan hati nurani umat manusia dan telah melunturkan nilai-nilai kekristenan. Sehingga pemikiran atau pengertian yang jorok telah tertanam di dalam masyarakat kita.


Banyak orang berpikir dan mengira bahwa ini hanya dilakukan oleh orang-orang non Kristen saja. Tetapi kenyataannya ini juga dilakukan oleh orang-orang Kristen yang mengaku dirinya percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal ini memang pekerjaan Iblis yang senantiasa menipu dan mau menguasai pikiran manusia agar tidak lagi memikirkan hal-hal rohani. Iblis secara aktif ikut terlibat dalam usaha mencoba mengalihkan pikiran orang percaya agar tidak menempuh kehidupan dengan iman kepada Kristus. Iblis melakukannya dengan jalan memasukkan pikiran dan gagasannya kedalam pikiran manusia. Ia gigih berusaha menanamkan pola pikir dunia yang negatif kedalam pikiran manusia. Iblis yang adalah musuh kita bertekad bulat untuk mencengkeram fungsi pemikiran ini sampai akhirnya betul-betul lumpuh dan tidak mampu menuruti kehendak Allah. Semuanya ini telah membawa manusia kepada pencarian jati diri melalui hal-hal yang salah. Anak-anak muda tidak lagi ingin tunduk kepada kekuasaan orang tua, perintah guru, atau pihak-pihak yang biasa mengaturnya. Mereka mulai hidup “semau gue”


Melihat realita ini, kita perlu mempertanyakan peran orang percaya. Apakah kita terus berdiam diri saja? Apakah kita tega membiarkan umat manusia terpuruk dalam imoralitas? Jika memang ada dan orang percaya harus berperan, peran apakah yang harus dilakukan oleh orang percaya untuk menghambat imoralitas? Kita tidak boleh berdiam diri dan berpangku tangan saja melihat semua ini. Kita harus mengambil bagian untuk menciptakan moralitas yang baik bagi bangsa ini.


Saya melihat bahwa, apa yang terjadi di bangsa ini, yakni mulai terpuruknya moralitas adalah kesalahan kita orang percaya. Kita lebih banyak berdiam diri. Kita tidak merealisasikan fungsi kita sebagai garam dan terang dunia. Kita juga telah gagal mematuhi dan melakukan mandat kultural Alkitab untuk melibatkan diri dalam setiap bidang kegiatan dalam masyarakat dimana kita berada. Kita lebih banyak menarik diri dari berbagai kegiatan, karena mungkin kita anggap sebagai hal-hal yang tidak bisa dilakukan, dan kita membiarkan semuanya itu kepada orang-orang yang tidak percaya dan tidak bertanggung jawab.


Kita orang percaya telah gagal memenuhi tanggung jawab. Kita gagal mematuhi perintah Kristus untuk menggarami, menerangi dan menjadikan semua bangsa muridNya. Memang hal ini sangat dilematis bagi orang percaya. Karena disatu sisi, kita dituntut untuk berbeda dengan dunia ini. Bahkan pengertian garam dan terang juga menunjukkan bahwa kita jangan menjadi sama dengan dunia ini. Tetapi bagaimana kita bisa mengubah perilaku dari masyarakat jika kita tidak berbaur dengan mereka? Bagaimana kita bisa menerangi dan menggarami jika kita hanya berdiam diri saja, tinggal di rumah dan hanya menyaksikan tontonan imoralitas yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat kita?


Sebagai orang percaya, kita harus berusaha supaya pengaruh Yesus Kristus dapat dirasakan di setiap aspek kegiatan dalam masyarakat kita. Sebagai garam, orang percaya harus melindungi supaya yang baik tidak membusuk. Kita harus membuktikan bahwa kita adalah pelindung norma dan moralitas bangsa. Kita tidak boleh membiarkan orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri.


Oleh karena itu, sebagai orang Kristen – pengikut Kristus - kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan Kristus dalam masyarakat dimanapun kita berada. Karena tidak ada siapapun selain Yesus Kristus yang cukup benar, berkuasa, dan kuat serta pengasih, untuk bisa menciptakan tatanan moral yag harus dipatuhi. Moralitas tidak bisa dipisahkan dengan Yesus Kristus. Kristus secara mutlak diperlukan dalam moralitas. Karena tidak ada teori moral yang baik yang bisa timbul dari orang yang tidak beragama dan tidak mempercayai Tuhan (ateisme). Dasar moralitas adalah keberadaan Kristus. Tanpa kristus, tidak ada lagi tolok ukur yang obyektif diluar diri kita sendiri.


Faktor utama lunturnya moralitas dalam masyarakat kita adalah karena begitu banyak orang yang tidak mengenal kasih Kristus dan mereka juga tidak mengenal pesan Alkitab yang telah memberi kepada dunia suatu tatanan moralitas tertinggi dan yang harus diikuti. Mereka tidak menyadari dan tidak mengetahui bahwa Alkitab adalah pemandu yang pasti dan akurat untuk yang benar dan yang salah.


Kita harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi (rasa percaya diri yang didasarkan kepada kepercayaan kita kepada Kristus), bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku dalam masyarakat. Kita dapat membantu dan membentuk masyarakat dalam komunitas kita menjadi pribadi-pribadi yang berkembang baik. Dan ini membutuhkan orang percaya yang sadar akan tugas dan tanggung jawabnya serta berkomitmen tinggi dan bersedia untuk selalu mendampingi serta berbaur dengan masyarakat disekitarnya dengan harapan dan tujuan agar mereka tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Orang percaya – dengan pertolongan Roh Kudus – pasti sanggup membantu masyarakat untuk menemukan arus balik yang bisa membawa mereka pada nila-nilai yang diwariskan oleh ajaran Kristus. Kontribusi yang paling berharga yang dapat diberikan orang percaya kepada masyarakat adalah dengan menanamkan iman yang sejati pada Allah dalam diri mereka.


Firman Tuhan mengajarkan kepada kita, bahwa kita harus hidup dalam dunia ini, tetapi tidak ambil bagian dalam kejahatan-kejahatan dunia ini. Kita harus menjadi berbeda dengan dunia ini (Roma 12:2). Kita harus terpisah dari dunia kejahatan. Jika kita sedang diperhadapkan dengan hal-hal duniawi, tanyakanlah pada diri kita: “Apakah ini melanggar prinsip Alkitab? Apakah ini akan merusak kehidupan iman Kristen ku? Dapatkan aku memperoleh berkat Tuhan dibalik semua ini? Apakah ini akan menjadi batu sandungan bagi orang lain?


Keduniawian tidak akan pernah menimpa kita secara mendadak. Tetapi cara kerjanya akan seperti tetesan air yang secara perlahan-lahan tetapi pasti melubangi batu yang ditetesinya. Dunia dengan segala kekuatan, rayuan dan pengaruhnya akan terus menekan kita setiap hari. Kebanyakan kita akan takluk jika Roh Kudus tidak hidup di dalam kita, menopang dan memelihara kita.


Jadilah benteng untuk moralitas bangsa. Dengan demikian kita bisa merealisasikan fungsi kita sebagai garam dan terang dunia. Dan kita bisa membuat bangsa ini sebagai bangsa yang bermoral. *****

Kamis, 01 Oktober 2009

SEBUAH RENUNGAN TENTANG PENGAMPUNAN (kristiani)


Pengampunan adalah perintah Allah, “sabarlah kamu seorang akan yang lain dan ampunilah seorang akan yang lain. Apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuatlah juga demikian” (Kolose 3:13).
Menjalin kembali hubungan dengan mereka yang terpisah dari kita apalagi disebabkan karena suatu persoalan atau pertengkaran memang akan mengalami kesulitan. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Betapapun cara kita melakukannya, kita harus berusaha sedapat-dapatnya untuk memulihkan persekutuan dengan orang-orang yang mungkin telah lama terpisah dengan kita.

Kisah berikut ini yang saya baca dalam sebuah artikel yang menceritakan tentang pengampunan yang berdampak kepada pemulihan dan kedamaian dalam keluarga.

Ada suatu keluarga yang mengalami hal ini. Mereka adalah keluarga yang takut akan Tuhan. Tetapi mereka diizinkan Tuhan untuk mengalami suatu masalah dalam keluarga yang seharusnya bisa membuat mereka tidak mengampuni apa yang telah dilakukan oleh Ayah mereka. Tetapi karena mereka takut akan Tuhan dan percaya bahwa hanya dengan mengampuni, mereka akan tetap hidup dalam suasana damai sejahtera.
"Tujuh belas tahun yang silam, tanpa sebab yang jelas Ayah meninggalkan kami. Pada waktu itu saya baru berumur lima Tahun. Saya tinggal bersama dengan Ibu dan kakak perempuan saya.
Sebelum Ayah pergi, ibu hanya tinggal di rumah mengurus kami berdua sebagai Ibu rumah tangga yang baik, meskipun sebenarnya ia adalah seorang sarjana ekonomi. Ayah memang tidak mengijinkan Ibu bekerja, karena penghasilan Ayah saja sudah mencukupi kebutuhan kami sekeluarga, bahkan kami bisa membeli sebuah sepeda motor.
Saya tidak pernah mengira kalau Ayah akan meningalkan kami. Saya tahu persis Ayah dan Ibu tidak pernah bertengkar. Mereka rajin beribadah kepada Tuhan. Setiap hari minggu Ayah selalu mengajak kami semua untuk pergi ke gereja. Dan setiap malam sebelum kami beranjak tidur, Ayah selalu mengajak kami untuk bersaat teduh dan berdoa bersama.
Sampai suatu hari Ayah meninggalkan kami tanpa sebab yang jelas. Tak ada pesan. Tak ada ciuman seperti biasanya bila ia akan meninggalkan kami. Kami sangat bingung dan kuatir. Ibu bertanya kepada teman-teman kantor Ayah dan juga para saudara, tetapi mereka juga tidak tahu kemana Ayah pergi. Setiap senja kami menunggu kalau-kalau Ayah pulang, namun kami selalu teridur dengan rasa kecewa.
Waktu beralu demikian berat tanpa kehadiran seorang Ayah yang baik dan penuh perhatian. Ibu memutuskan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan kami. Tetapi, Ibu juga tak pernah melalaikan kami anak-anaknya. Perhatian Ibu selalu cukup bagi kami. Kami juga tak pernah melupakan Tuhan. Kami rajin beribadah meskipun tanpa Ayah. Setiap malam kami juga tetap bersaat teduh dan berdoa. Kami selalu menangis bila berdoa untuk Ayah.
Tahun-tahun telah berlalu, tetapi Ayah tak juga pulang. Teman-teman Ibu dan juga para saudara menyarankan agar Ibu menikah lagi dan berhenti mengharapkan Ayah kembali. Namun Ibu selalu menolak. Ibu selalu mengatakan bahwa janji pernikahan yang diucapkan di depan Tuhan hanya boleh dipisahkan oleh kematian dan Ibu yakin Ayah masih hidup disuatu tempat. Ibu memilih sendiri membesarkan kami berdua. Ibu tak pernah menyalahkan kepergian Ayah. Ibu selalu yakin bahwa semua yang terjadi tak lepas dari campur tangan Allah dan semua itu terjadi pasti ada maksud Tuhan yang tersembunyi. Ibu juga menasehati kami agar tidak mendendam kepada Ayah, tetapi agar kami mengampuninya bila kelak ia kembali. Kami terus berharap dan setia menunggu jawaban dari Tuhan.
Seperti seorang janda dalam Lukas 18:1-8, yang tak pernah lelah meminta kepada seorang hakim yang lalim. Kami percaya Tuhan Yesus yang jauh lebih baik akan mengabulkan doa kami.
Tujuh belas tahun telah genap. Kakak sudah menjadi dokter dan saya sudah duduk di semester akhir fakultas hukum. Kami tahu betapa berat jalan yang sudah kami lewati. Meskipun demikian kami tetap berdoa untuk Ayah. Kami rindu Ayah dapat berkumpul kembali bersama kami sebelum saya di wisuda nanti.
Suatu malam, ketika kami baru saja menyelesaikan waktu teduh kami, pintu diketuk seseorang. Ibu membukanya. Sesaat kami melihat Ibu tertegun. Kami segera berdiri dan ingin tahu siapa yang datang. “Ayah…!” saya dan kakak berteriak dan segera berlari memeluk Ayah. Meskipun ia kelihatan tua, tetapi kami tidak melupakan wajahnya. Malam itu kami menumpahkan segenap kerinduan yang telah begitu lama tersimpan. Kami tidak menanyakan kenapa Ayah pergi. Kami percaya bahwa itu diijinkan Tuhan terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi kami. Asal kami tidak menjadi lemah, Tuhan Yesus akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya".

Ddari cerita diatas, benarlah bahwa yang mungkin sering kita lupakan, bahwa doa dan pergumulan kita akan berakhir dengan kebahagiaan asal kita telah siap menerima jawabab atas doa kita. Bila Anda ditinggalkan, disakiti oleh orang yang Anda kasihi dan Anda ingin ia kembali, terlebih dahulu Anda harus mengampuninya dan siap menyambutnya sebagaimana ia sebelum meninggalkan dan menyakiti Anda.

Kepahitan hidup terkadang demikian dalam dan sangat menyakitkan, sehingga teramat sulit untuk mengampuni mereka yang menimbulkan kepahitan tersebut. Namun Yesus berkata bahwa kita tidak akan mengalami pengampunanNya bila kita tidak memiliki roh yang mengampuni.

Pada Perang Dunia II, Corrie Ten Boom dan saudara perempuannya Betsie ditahan karena menyembunyikan orang Yahudi dan dikirim ke suatu kamp konsentrasi di Jerman. Betsie akhirnya meninggal perlahan-lahan dan menggenaskan akibat perlakuan kejam yang dialaminya.
Kemudian, pada tahun 1947, Corrie berbicara tentang pengampunan Allah di sebuah gereja di Munich. Setelah itu, seorang pria mencarinya. Ia mengenali pria tersebut sebagai salah seorang pengawal yang memperlakukan Betsie dan dirinya secara kejam. Pria itu mengatakan bahwa ia telah menjadi seorang Kristen, dan dengan tangan terulur pria tersebut memohon pengampunannya.
Corrie bergumul dengan perasaannya, namun ketika ia ingat akan kata-kata Yesus dalam Matius 6:15, ia tahu bahwa ia harus mengampuni. Ia berdoa dalam hati, "Yesus, tolonglah saya!" dan mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan orang yang dahulu menyiksanya. (sabda)

Memang sikap pengampunan itu sulit karena kecenderungan manusia itu adalah sikap untuk membalaskan dendam. Maka tidak heranlah, banyak terjadi perang antar keluarga, antar suku, antar kelompok yang diawali oleh karena konflik individu dan tidak diselesaikan dengan suatu perdamaian, karena tidak mau mengampuni.

Salah satu karakteristik dari orang percaya adalah mau mengampuni. Seorang mahasiswa sebuah seminari di selatan Chicago biasanya mengemudikan bis dalam perjalanan ke sekolah. Pada satu hari, komplotan pemuda yang bengis naik ke bisnya dan menolak untuk membayar ongkos. Pemuda ini segera menghentikan bisnya setelah melihat seorang polisi dan melaporkan gerombolan pemuda berandal ini. Setelah berhasil menyuruh mereka membayar, polisi itu pun pergi. Ternyata setelah membelok di sebuah tikungan, gerombolan tersebut menghentikan bis dan memukuli pemuda itu berulang kali.
Komplotan ini berhasil ditangkap, diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Segera setelah hukuman mereka diumumkan, mahasiswa tersebut meminta izin kepada hakim untuk melayani mereka selama di penjara. Hakim dan anggota komplotan itu menjadi terkejut. "Hal ini saya lakukan karena saya mengampuni mereka," jelasnya. Permintaannya ditolak, namun pada bulan-bulan berikutnya, ia mengunjungi anak-anak muda ini dan berhasil membawa beberapa dari mereka untuk percaya kepada Yesus Kristus.

Ketika saudara-saudara Yusuf berdiri di hadapannya di Mesir untuk meminta makanan, Yusuf menghadapi pergumulan yang berat. Bertahun-tahun yang silam, orang-orang inilah yang telah merencanakan untuk membunuhnya, dan sekalipun akhirnya mereka berubah pikiran, mereka menjualnya sebagai budak. Saat ini Yusuf berada dalam posisi memegang kekuasaan dan memiliki kesempatan untuk membalas dendam.
Yusuf dikisahkan menangis dalam beberapa pasal, dalam beberapa keadaan. Ini mau menunjukkan bahwa pengampunan itu memang bukan sesuatu hal yang mudah. Yusuf diperhadapkan dengan situasi dimana ia harus mengampuni saudara-saudaranya yang telah membuatnya menderita bertahun-tahun; mereka berniat untuk membunuhnya, memasukkannya kedalam sumur, bahkan akhinya menjualnya sebagai budak.
Dapat kita bayangkan bagaimana Yusuf berseru meminta pertolongan ketika ia di dalam sumur, bagaimana ia sedang menangis ketika mulai diikat dan sebagai budak mulai diseret oleh yang membelinya.
Sebenarnya dengan mudah, yusuf bisa saja memanggil pengawalnya dan menghukum mereka sebagai mata-mata dan menyelesesaikan dendamnya. Tetapi Yusuf mengambil suatu keputusan yang luar biasa, yakni mengampuni saudara-saudaranya. Dan sebagai akibatnya, keluarga besar Yusuf dipulihkan. Dan keluarga Yakub pun mendapatkan tanah penggembalaan di Gosen.

Lepaskan pengampunan, maka Tuhan akan memberkati engkau dan pasti kehidupanmu akan senantiasa diwarnai dengan sukacita dan damai sejahtera.
Apakah Anda telah melakukan kesalahan? Sebagaimana Anda percaya bahwa Kristus mengampuni Anda, mintalah kepadaNya kemampuan untuk mengampuni orang lain.

"Janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu" (Efesus 4:26).
Dan Yakobus memberi kita bimbingan yang bijaksana ketika ia berkata agar kita,
"hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah" (Yakobus 1:19-20).
Jangan lupa bahwa,
"Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah pembunuh manusia" (1Yohanes 3:15). Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk tidak pernah membesarkan buah kebencian yang pahit!
“Segala kepahitan (kebencian), kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef. 4:31-32).
“Karena itu sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain, apabila seorang menaruh dendam terhadap yang lain sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian dan diatas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan (Kol. 3:12-14)
“Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: aku menyesal, engkau harus mengampuni dia (Lukas 17:4).

Alkitab memiliki jawaban terbaik terhadap pertanyaan bagaimana mengampuni, yakni: Dengan mengampuni orang lain sebagaimana Allah telah mengampuni kita.
Pikirkanlah tentang karunia dan pengampunan Allah yang telah diberikan kepada kita melalui pengorbanan Kristus di atas kayu salib ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Pikirkanlah tentang Yesus saat Dia berdoa bagi penyalib-Nya, "Bapa, ampuni mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34). Pikirkanlah tentang pengampunan yang diberikan Allah kepada kita ketika kita bertobat dan mengakui dosa-dosa kita (1Yohanes 1:9). Pikirkanlah tentang bagaimana Roh Kudus menolong kita melaksanakan perintah Paulus, "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu" (Efesus 4:32).

Sebenarnya, kita tidak membutuhkan teknik baru tentang pengampunan. Metode kuno ini, metode Allah, benar-benar ampuh bila kita mau menggunakannya dengan sungguh-sungguh.
Saya tidak mengatakan, bahwa mengampuni itu mudah. Mengampuni itu adalah suatu keputusan yang berat namun harus dilakukan.
Jika pengampunan sungguh-sungguh diterapkan, maka perang, balas dendam, akar pahit, permusuhan, pertikaian, kebencian tidak akan terjadi.

Selamat menjalani kehidupan baru dengan dengan prinsip yang baru "PENGAMPUNAN"

Rabu, 30 September 2009

CIRI-CIRI KEPEMIMPINAN ROHANI (kristiani)


BERWIBAWA

Seorang pemimpin yang berwibawa, akan menciptakan suatu suasana dan kemauan kerja bagi para bawahannya, dan akan menimbulkan kepercayaan dalam diri orang lain. Pemimpin yang tidak berwibawa tidak akan diikuti oleh bawahannya. Bahkan ia tidak akan sanggup untuk mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin perlu wibawa, sehingga segala perkataannya dapat menjadi panutan orang lain, dan dapat menyebarkan pengaruhnya. Dengan wibawa, seorang pemimpin akan diikuti bukan karena ia berkuasa dan memiliki kedudukan atau jabatan yang tinggi, tetapi lebih banyak karena disegani oleh para pengikutnya.

MEMILIKI INTEGRITAS

Integritas bukanlah apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin melainkan lebih banyak kepada siapa dirinya. Tanpa integritas, seorang pemimpin tidak akan memiliki kredibilitas. Dan jika pemimpin tidak memiliki kredibilitas berarti seorang pemimpin dengan sendirinya akan gagal dalam memimpin. Seorang pemimpin yang memiliki integritas selalu jujur pada orang lain dan dirinya sendiri, dan mau mengakui kelemahan-kelemahannya. Integritas akan membangun kepercayaan. Dan orang-orang akan mengikuti dan percaya kepada pemimpin mereka yang memiliki integritas. Kepercayaan adalah keyakinan bahwa pemimpin sungguh-sungguh dengan apa yang dilakukannya. Pemimpin yang memiliki tipe orang yang suka berpura-pura. Mengenai hal ini, John Maxwell mengatakan: “Semakin bisa dipercaya diri Anda, semakin besar pula kepercayaan orang lain yang ditempatkan pada diri Anda, dengan demikian memungkinkan diri Anda memiliki hak istimewa mempengaruhi kehidupan mereka. Semakin kurang di percaya diri Anda, semakin kurang pula kepercayaan yang ditempatkan orang lain pada diri Anda, dan makin cepat Anda kehilangan kedudukan untuk mempengaruhi”. “Orang akan memberikan toleransi terhadap kekeliruan yang jujur, namun jika Anda melanggar kepercayaan mereka, akan sulit bagi Anda untuk mendapatkan kepercayaan mereka kembali”. Hal yang sama dikatakan oleh Tom Marshal, bahwa “perkataan pemimpin harus dapat dipegang. Ini sangat penting. Karena itu, jangan membuat pesan nampak berbeda bagi orang yang berlainan dan hindarilah khususnya menyampaikan hanya sebagian kebenaran, sehingga Anda tidak dituduh berdusta”. Supaya seorang pemimpin punya wewenang untuk memimpin, dia memerlukan lebih dari sekedar nama jabatan yang terpasang di pintu kantornya. Dia harus mempunyai kepercayaan mereka yang dipimpinnya. Tanpa integritas, tidak mungkin ada sukses yang sejati. Pemimpin yang berintegritas dapat dilihat ketika ajaran dan tindakannya saling sesuai. James Russell Lovell mengatakan bahwa “tak seorangpun dapat menghasilkan hal-hal besar, jika tidak sepenuhnya jujur dalam menangani diri sendiri”.

MEMPUNYAI KEPERCAYAAN DIRI

Kepercayaan diri adalah sikap dan keyakinan yang timbul dalam diri sendiri, yaitu keyakinan akan kemampuan diri. Hal ini akan memancar keluar dan dilihat oleh orang lain bahwa seorang pemimpin itu mempunyai suatu keteguhan dan pendirian yang mantap. Oleh sebab itu, seorang pemimpin yang mempunyai sikap percaya diri yang tinggi tidak akan bersikap ragu-ragu dalam menghadapi sesuatu persoalan dan dalam mengambil keputusan serta menentukan kbijakan. Selain itu, ia akan mempunyai keyakinan dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

MAMPU UNTUK MENEMPATKAN DIRI

Sudah menjadi kodrat manusia, bahwa setiap orang selalu merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat, baik di rumah, di tempat pekerjaan, atau di lingkungan sosial lainnya. Oleh sebab itu hendaknya setiap orang yang ingin menjadi pemimpin harus belajar bagaimana cara menempatkan dirinya sesuai dengan yang diinginkan kelompok. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus percaya dengan pernyataan berikut ini, “kalau kita tidak mau memperkenalkan diri kita, tentu orang lain tidak mau kenal dengan diri kita sendiri”. Oleh sebab itu, menjadi calon pemimpin perlu mencari peluang untuk menggabungkan diri ke dalam kelompok yang lebih besar, sehingga dapat berkesempatan untuk berbuat sesuatu dan mencari pengikut sebanyak mungkin.

MAMPU BERKOMUNIKASI DENGAN BAIK

Pada dasarnya komunikasi adalah suatu proses saling mempengaruhi, antara komunikator (pemimpin) dan pendengar (bawahannya) untuk mencari titik kepentingan yang sama. Kebiasaan berkomunikasi dengan baik akan sangat berpengaruh dalam usaha meningkatkan wibawa seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, kita semua mungkin sering frustasi karena mengetahui bahwa kita belum mampu menyampaikan pesan dengan baik dan tepat. Kata-kata dan tindakan kita mungkin salah ditafsirkan; kita mungkin melihat banyak orang merasa tersinggung atau timbul masalah akibat kita salah berkomunikasi. Memang harus disadari bahwa tidak ada komunikasi yang sempurna. Tetapi sebagai seorang pemimpin, kita harus berusaha menyempurnakan ketrampilan komunikasi kita untuk menghindari kesalahpahaman. Komunikasi terdiri dari dua jenis, yakni komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Seorang pemimpin yang baik harus sering menggunakan komunikasi dua arah, supaya tidak dianggap otoriter dan arogan. Berkomunikasi dengan baik dapat dibiasakan melalui sikap positif, seperti: memelihara ekspresi wajah; harus selalu sesuai dengan pesan yang disampaikan, melihat mata lawan yang sedang berbicara, usahakan badan dalam posisi tegak, lebih bersemangat, jangan dibiasakan bersandar bila sedang berdiri, berbicaralah dengan tempo yang tepat dan ucapan yang jelas, gunakan bahasa tubuh untuk memperkuat penyampaian pesan. Pdt. Yacob Nahuway mengatakan bahwa hal inilah yang harus di perhatikan pada saat komunikasi (percakapan) itu sedang berlangsung, yakni: “Pusatkan perhatian Anda sepenuhnya pada percakapan yang sedang berlangsung. Tataplah muka orang yang sedang berbicara dengan wajah keramahan, karena hal itu memperlihatkan perhatian dan kesungguhan Anda. Ingat hal ini: “siapa pun tidak ingin disepelekan, dalam hal sekecil apa pun termasuk percakapan”. Apakah itu membosankan, menjengkelkan, tetapi tetaplah menaruh perhatian yang sungguh. Bisa saja terjadi lawan bicara kita terus-menerus dan mendominasi percakapan, tetaplah sabar, sambil mencari peluang yang ada untuk mengarahkan percakapan itu untuk meraih apa yang kita harapkan. Sekali lagi tetap bersikap ramah”. Seorang pemimpin akan menjadi efektif kepemimpinannya jika ia mampu berkomunikasi dengan baik dan melakukan pembicaraan dengan baik; oleh karenanya seorang pemimpin harus berani dan fasih. Seorang pemimpin harus melatih pemakaian kata dan pada gilirannya hal ini akan membantunya untuk berkomunikasi dengan lebih baik. Jika Anda adalah seorang pemimpin yang dapat berkomunikasi dengan baik, maka menurut Sheila Murray Bethel, Anda akan mampu: 1. Memotivasi dan mengilhami orang lain untuk mengambil tindakan. 2. Membangun kerjasama dan kepercayaan 3. Tetap memusatkan perhatian pada masalah 4. Menyelesaikan konflik. 5. Memberikan informasi yang tepat. 6. Mencegah kegagalan komunikasi. Seperti yang dikatakan di atas bahwa seorang pemimpin harus menggunakan komunikasi dua arah. Ini berarti di dalam berkomunikasi tidak selamanya pemimpin yang bebicara, tetapi memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk menanggapi pembicaraannya tersebut. Seorang pemimpin yang baik bukan karena pintar berbicara, tetapi juga pintar mendengarkan.

TERBUKA TERHADAP KRITIK

Saya melihat bahwa ketika seorang pemimpin membiarkan kekuasaan mengisolir dirinya, maka kepemimpinannya tidak akan bertumbuh dan ia sendiri tidak akan disukai. Kepemimpinan juga tidak akan berkembang jika dalam suatu organisasi hanya di isi atau dipenuhi oleh orang-orang yang selalu setuju terhadap pemimpin. Seorang pemimpin yang baik adalah adalah seorang yang berjiwa besar dan selalu mau menerima kritikan.
Janganlah menjadi seorang pemimpin yang takut akan kritikan. Sebagai seorang pemimpin, ia harus sadar bahwa kritik dapat saja muncul kapan pun dan dimana pun, baik dari pihak lawan, atau pihak ia sendiri (orang-orang yang dipimpinnya). Memang ini merupakan hal tersulit yang sering dihadapi dan tidak bisa diterima oleh seorang pemimpin. Bahkan tidak sedikit pemimpin seringkali dibuat stress karenanya. Seorang pemimpin yang baik harus memandang hadirnya kritik bukan sebagai ancaman. Ia tidak akan merasa sakit hati, marah, atau dendam terhadap orang-orang yang mengkritiknya. Ia akan memandang kritik sebagai “kuasa” yang akan mengembangkan dirinya. Maka tidaklah mengherankan apabila seorang pemimpin yang baik “menantang” pihak lain untuk mengkritik dirinya. Ia pun tidak akan merasa di jatuhkan apabila “lawannya” memberi saran atau pendapat. Ia akan akan membuka dirinya lebar-lebar bagi siapa saja untuk membangun dirinya. Ia tetap menganggap “lawannya” sebagai mitra yang akan lebih menyempurnakan dirinya sebagai seorang pemimpin. Ia tidak akan mencari kambing hitam bila dirinya mengalami persoalan. Sebaliknya, secara bijaksana ia akan menempatkan persoalan itu sebagai tanggung jawabnya Tom Marshal mengatakan, bahwa “suatu karakteristik yang diperlukan dalam diri seorang pemimpin adalah tekad yang kuat untuk terus maju dan menyelesaikan apapun yang telah ditetapkan untuk mereka kerjakan, sekalipun menerima umpan balik yang negatif”. Mengenai sikap mau menerima kritikan ini, Sheila Murray Bethel mengatakan bahwa: “Sebagai seorang pemimpin, Anda harus berjaga-jaga agar jangan dikelilingi oleh terlalu banyak orang yang mirip dengan Anda. Kita semua ingin berada di tengah-tengah orang yang menyerupai kita, yang memiliki keyakinan dan prasangka yang sama. Memang suasana demikian terasa aman dan menyenangkan. Tetapi seorang pemimpin yang sungguh-sungguh akan menghindari perangkap demikian dan justru mencari kontrasnya. Carilah orang-orang yang memiliki bakat yang Anda perlukan dan bukan hanya mereka yang menyerupai Anda. Terlalu banyak pendukung dengan kekuatan dan kelemahan yang serupa justru akan mengurangi kreativitas dan inovasi. Anda menginginkan orang yang akan memberi Anda sudut pandang yang baru ketimbang citra bayangan dari pandangan Anda sendiri”.

SANGGUP MENYELESAIKAN MASALAH


Seorang pemimpin harus mampu menjadi pemecah masalah bagi dirinya dan orang lain (orang yang dipimpinnya). Ini merupakan konsekwensi logis sebagai seorang pemimpin, karena mau tidak mau, dan suka atau tidak suka, dia harus berani mengambil keputusan. Jadi, ia harus berani bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya.
Pemimpin yang baik dan berkualitas tidak akan menjadikan dirinya sebagai bagian dari masalah, melainkan sebagai pemecah masalah. Ia tidak akan pernah lari dari masalah. Ia akan tetap mengatasi masalah sampai tuntas. Karena posisinya sebagai problem solver, pemimpin harus benar-benar memiliki daya analisa yang tinggi, sehingga keputusan yang diambilnya sudah dipertimbangkan secara matang. Ia tidak akan menggunakan kacamata subyektivitas. Ia akan menggali nilai-nilai objektivitas dalam mengambil keputusan. Dalam menyelesaikan masalah, seorang pemimpin yang baik dan berkualitas akan bertindak proaktif. Ia melakukan antisipasi sebelum segala sesuatu yang lebih buruk terjadi atau berakibat fatal bagi banyak orang. Tidak ada organisasi yang tidak mempunyai masalah. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik harus bisa mencari jalan keluar dalam setiap masalah, bukan sebaliknya menghindari masalah. Sebagai seorang pemimpin, Tuhan Yesus tidak pernah menghindari masalah, sebaliknya selalu mengatasi setiap masalah. Pdt. Yacob Nahuway mengatakan, bahwa “Tuhan Yesus selalu mencari orang yang dikuasai masalah. Seperti seorang dokter mencari pasien yang sakit. Ia menyembuhkan orang sakit, mentahirkan orang kusta, yang buta dibuatNya melihat, yang timpang diluruskan kakinya, yang tuli dibuatNya mendengar, bahkan yang mati dibangkitkanNya. Tuhan Yesus tidak melarikan diri dari masalah, tetapi Ia menghadapinya dengan kuasa dan menyelesaikannya”. Ada pemimpin yang tidak berani menyelesaikan masalah. Berani menciptakan masalah tetapi selalu menghindar untuk menyelesaikannya. Bahkan ketika terjadi masalah bukannya berusaha untuk mencari jalan keluar, tetapi berusaha untuk mencari siapa yang bisa disalahkan. Pemimpin seperti ini tidak pantas untuk memimpin, apalagi memimpin dalam organisasi kerohanian. Dapat dipastikan organisasi yang dipimpinnya tidak akan mengalami kemajuan. JADILAH PEMIMPIN “PROBLEM SOLVER” BUKAN “TROUBLE MAKER"

MAMPU SEBAGAI MOTIVATOR

Seorang pemimpin yang baik dan berkualitas harus mampu menjadi penguat bagi bawahannya. Ia harus mampu menjadi pelita bagi bawahannya yang sedang mengalami kegelapan; menjadi kompas bagi anak buahnya yang sedang mengalami kebingungan, menjadi mata air ketika orang yang dipimpinnya mengalami kehausan semangat, serta mampu menjadi pendorong bagi bawahannya supaya tetap memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan sesuatu. Memotivasi dapat dilakukan dengan cara memuji orang lain (bawahan). Bawahan yang senantiasa mendapat pujian dari pemimpinnya akan selalu merasa senang dan bangga. Seperti yang dikatakan oleh Sheila Murray Bethel berikut ini, bawah “Apapun pekerjaan Anda, Anda dapat meningkatkan rasa bangga dan membantu semangat tim dengan mencari jalan untuk memberi pujian yang jujur dan menunjukkan perilaku dan prestasi yang bagus”. Memang ada pemimpin yang selalu memuji, tetapi sayang hanya ketika bawahannya melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemauannya. Tetapi ketika tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauannya walaupun apa yang dilakukan bawahanya benar, tetapi karena tidak sesuai dengan kemauannya, bawahannya akan terus di intimidasi. Untuk mampu menjadi seorang motivator ia harus benar-benar memahami anak buahnya, sehingga tahu betul waktu dan cara memotivasi mereka. Sebagai motivator, ia akan selalu ditunggu kehadirannya, karena kehadirannya membuat mereka berdaya dan bersemangat dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Seorang pemimpin yang mampu memotivasi orang lain menurut Pdt, Yacob Nahuway, “ia dapat menularkan semangat terhadap pekerjaannya kepada orang lain. Ia senang bekerja sama. Ia menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Ia mampu bekerja sendiri tanpa harus selalu diberi petunjuk. Ia membuat rencana sebelum bekerja. Ia tahu nilai dan kedudukannya di dalam operasi keseluruhan perusahaan dimana ia bekerja”. Kini saya sampai pada konklusi bahwa, ketika kita mempelajari Alkitab secara teliti, kita akan menemukan bahwa kepemimpinan memang benar-benar gagasan Tuhan. Tuhan Yesus bukan hanya pemimpin yang sejatii, tetapi Ia juga memanggil kita untuk menjadi pemimpin. Gambaran pertama tentang manusia dalam Alkitab menyangkut kepemimpinan. Allah merencanakan kita untuk memimpin, dan memiliki otoritas untuk berkuasa. Dalam Kejadian 1:26 berkata: “Berfirmanlah Allah: baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Dari firman Tuhan ini, yang mengatakan bahwa kita diciptakan menurut rupa Allah berarti kita juga diciptakan untuk memimpin dan berkuasa. Dan kita berada dalam dua posisi. Pertama, berada dibawah otoritas Allah. Dan kedua, Allah memberikan kepada manusia otoritas atas seluruh bumi. Akan tetapi, kita harus mengetahui apa artinya memimpin seperti Tuhan memimpin. Jika Tuhan memerintahkan kita untuk memimpin, kita harus mempunyai kemampuan untuk hal itu. Dan Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu tanpa memberikan kesanggupan kepada kita untuk melakukannya. Kita mempunyai kesanggupan untuk memimpin, karena Allah menciptakan dan memerintahkan kita untuk melakukannya. Berdasarkan karunia dan kepribadian, kita mempunyai kesanggupan untuk memimpin disuatu bagian. Banyak orang diantara kita merasa seperti Musa, ketika ia berhadapan dengan Tuhan di semak yang terbakar, dalam Keluaran 3-4. Ia merasa tidak cukup dan tidak siap untuk memimpin. Tetapi itulah sebabnya Allah memanggilnya. Percayalah Tuhan bisa memakai orang-orang yang tidak masuk kriteria sebagai seorang pemimpin menurut teori duniawi untuk menjadi pemimpin yang dahsyat dan luar biasa Dalam Perjanjian baru Tuhan Yesus menegaskan hal ini, untuk mempengaruhi orang lain: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalahkan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikian hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang disorga” (Matius 5:13-16). Garam akan mempengaruhi rasa makanan yang akan kita makan. Terang akan mempengaruhi rumah yang kita tempati. Tuhan Yesus memanggil kita untuk menerima panggilan kita untuk mempengaruhi, dan bersinar kemanapun kita pergi. Tuhan Yesus juga melakukan hal ini. Ia tidak hanya menyuruh kita melakukannya, tetapi Ia sendiri telah melakukannya.

INDONESIA MENANGIS



(Bagaimana Anak Tuhan meresponi Penderitaan)


Kalimat INDONESIA MENANGIS seringkali muncul ketika bencana demi bencana menimpa atau terjadi di bangsa Indonesia. Memang ketika melihat bencana demi bencana yang terjadi di bangsa Indonesia ini, sangat sulit bagi kita untuk menahan aliran air mata. Kita semua tahu bahwa air mata tidak saja mengalir ketika kita mengalami bencana, karena air mata juga bisa mengalir ketika kita menyanyikan lagu pujian, ketika kita sendirian, dll. Paling sering air mata mengalir ketika kita mengalami suatu perasaan yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata. Inilah realita yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia. Sejak bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Nias, Padang, Bandung, dan dibeberapa daerah selatan Sumatera, Lumpur Lapindo, bencana di Jogjakarta dan sekitarnya, banjir bandang, air bah, tanah longsor dan gempa bumi di berbagai daerah, peristiwa Situ Gintung sampai kepada bencana yang terjadi akhir-akhir ini di Jawa barat, Mandailing Natal, dan dan gempa dengan kekuatan 7,6 SR yang barusan menimpa warga di Sumatera barat telah membuat rakyat yang ada di daerah tersebut khususnya dan seluruh rakyat Indonesia menangis. Siapa yang tidak akan sedih dan terharu melihat suatu penderitaan yang luar biasa ini. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, bahkan ratusan ribu orang meninggal dunia. Dan sebagai ungkapan rasa sedih, banyak orang tidak bisa berkata-kata lagi selain meneteskan air mata. Hal ini telah mengundang simpati dari berbagai Negara untuk membantu rakyat Indonesia yang ditimpa bencana dengan harapan bisa mengobati perasaan sedih dan dukacita dari rakyat Indonesia yang terus menerus menangis hingga saat ini. Tetapi apakah rasa solidaritas ini sungguh telah membuat rakyat Indonesia tidak menangis lagi? Dari semua peristiwa ini banyak orang, baik Kristen maupun non Kristen mulai bertanya-tanya, apa arti bencana dan penderitaan ini? Mengapa ini harus terjadi? Mengapa keluarga saya yang harus menerima semua ini? Siapa yang salah dan perlu dipersalahkan? Tidak sedikit orang yang menyalahkan kepemimpinan di bangsa ini. Mereka merasa apa yang terjadi di bangsa ini adalah karena bangsa ini salah memilih seorang pemimpin. Pemikiran seperti ini tentu saja tidak benar. Ketika peristiwa ini kita hubungkan dengan Tuhan, maka kencenderungan umum adalah menyalahkan Tuhan, juga langsung melemparkan tanggung jawab kepadaNya. Dengan melihat sifat-sifat Allah, orang akan beranggapan bahwa jika Allah itu baik dan mengasihi umat manusia, maka Ia pasti akan menghindarkan umat yang dikasihiNya dari penderitaan. Dan Ia pasti tahu bagaimana caranya untuk mengindarkan manusia dari penderitaan. Tetapi, mengapa Allah tetap membiarkan dan mengijinkan manusia mengalami penderitaan? Apakah peristiwa yang terjadi di berbagai daerah Indonesia disebabkan karena dosa mereka? Dalam hal ini kita harus berhati-hati. Karena memang ada hal-hal tertentu dimana penderitaan, kita kaitkan dengan dosa. Bahkan banyak peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab, bagaimana Tuhan menghukum manusia karena dosa mereka. Tetapi kita sama sekali tidak boleh menyamakan antara penderitaan seseorang dengan dosanya. Yohanes pasal 9 mengajarkan hal ini, ketika Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta. Perhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak menyatakan bahwa penderitaan orang tersebut sebagai akibat langsung dari pembalasan atas dosa. Demikian pula Ia tidak menyatakan bahwa hal itu terjadi begitu saja. Sebaliknya ada alasan dan tidak berkaitan dengan dosanya, tetapi untuk kemuliaan Tuhan. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penderitaan manusia dan murka Allah yang akan mendidik kita. Karena Alkitab mengatakan bahwa Allah memang menghajar orang yang dikasihiNya, dan bagian dari proses tersebut adalah mengalami rasa sakit dan penderitaan. Perhatikan Lukas 13:1-5, Tuhan Yesus menceritakan tentang orang yang mati di timpa menara dekat Siloam. Apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus? Ia berkata, “tetapi jika --kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian”. Memang seringkali kita bingung ketika melihat penderitaan atau bencana yang terjadi di Indonesia saat ini, karena kita sudah terbiasa dengan kemurahan dan kesabaran Allah. Tetapi yang perlu kita sadari bahwa semua bencana yang terjadi di Indonesia ini, tidak merupakan kebetulan. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa orang percaya akan dibebaskan dari penderitaan dan bencana-bencana di dunia ini. Tidak ada satupun ayat dari Alkitab yang mengatakan bahwa orang percaya kebal terhadap penderitaan (Filipi 1:29). Sebab Sering kali Allah mengijinkan kita menderita agar kita mengerti bahwa kepedihan adalah bagian dari hidup. Semua penderitaan terjadi berdasarkan kedaulatan Allah. Allah mengetahui dan mengijinkannya (Roma 8:28). Jika Allah turut bekerja dalam segala sesuatu maka, PERLUKAH KITA MENANGIS melihat penderitaan yang terjadi di bangsa ini? Bukankah kita diajarkan untuk bersukacita senantiasa dan dalam segala hal?

Ini merupakan pertanyaan yang sulit, akan tetapi tidak berarti tidak ada jawabannya. Pertama-tama kita harus melihat, kenapa sampai rakyat INDONESIA MENANGIS. Jika tangisan ini hanya merupakan suatu ungkapan rasa prihatin terhadap sesama kita yang menderita, maka ini merupakan sesuatu yang tidak salah dan wajar. Akan tetapi menjadi tidak wajar ketika kita dikuasai oleh perasaan sedih yang melebihi batasan yang diajarkan oleh Alkitab kepada kita, yakni suatu perasaan dukacita yang berlebihan (I Tesalonika 4:13). Sebagai orang percaya kita harus meyakini bahwa Allah bukanlah suatu pribadi yang tidak berperasaan dan tidak mau tahu tentang umatNya dan penderitaan mereka. Allah kita tidak saja mengetahui penderitaan, tetapi juga merasakannya. Tidak ada kesakitan ataupun penderitaan yang pernah menimpa kita tanpa melalui hati dan tangan Allah lebih dahulu. Betapapun berat penderitaan yang kita alami, hendaknya kita ingat bahwa Allah adalah penderita yang agung. Allah sangat memahami penderitaan dan dukacita. Jika kita mengerti sedikit saja tentang salib Kristus, kita pasti mengerti bahwa Allah memahami penderitaan. Walaupun penderitaan kadang merupakan hukuman Allah, tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa kesalahan-kesalahan manusia juga banyak menimbulkan kesusahan dan penderitaan di dunia ini. Misalnya, banyak orang meninggal karena konstruksi bangunan yang tidak baik, kecelakaan karena mengendarai dalam keadaan mabuk, penipuan, pencurian, pembunuhan dll. Kita sama sekali tidak bisa menyalahkan Allah untuk segala penderitaan ini. Terlalu banyak peristiwa yang mungkin sangat menyakitkan kita, tetapi sesungguhnya mau menjelaskan kepada kita, bahwa walaupun kita dengan pasti mengetahui semua penderitaan itu sesuai dengan rancangan Allah, tetapi ada hal-hal tertentu mengenai penderitaan yang Allah tidak berkenan mengungkapkannya (Ulangan 29:29). Disinilah iman kita benar-benar diuji. Dan seringkali disinilah kita akan bertanya, “mengapa Tuhan?”. Tetapi jika Tuhan tidak berkehendak untuk menjawabnya, Dia akan menunggu sampai kita dapat melihat masalah secara keseluruhan Mengenai bencana-bencana yang terjadi di Indonesia, kita harus melihat apakah ini disebabkan oleh kesalahan dari manusia atau tidak. Karena tidak sedikit bencana yang terjadi karena kesalahan manusia yang tidak mau menghiraukan peringatan-peringatan yang diberikan oleh gejala-gejala alam. Misalnya gelombang air pasang, banjir, dsb. Dan biasanya kita dapat mengetahui penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan kita sendiri. Oleh karena itu, ketika kita mendapati suatu kenyataan bahwa bencana demi bencana yang terjadi di bangsa Indonesia ini karena kesalahan sendiri, maka kita tidak perlu larut dalam perasaan dukacita yang mendalam apalagi terus menerus menangis. Inilah saatnya bagi kita untuk introspeksi dan mengoreksi diri kita masing-masing. Ini bukan saatnya kita saling menyalahkan. Tetapi ini adalah saat dimana kita harus saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan kepada rakyat Indonesia untuk datang kepada Tuhan Yesus. Karena hanya Dialah satu-satunya penghibur yang sejati. Kita juga harus mengingatkan, bahwa penderitaan bukan akhir dari segala-galanya dan kita bisa terlepas dari penderitaaan. Seringkali kita akan dipakai Tuhan untuk membawa kelepasan terhadap penderitaan orang lain. Oleh karena itu ungkapan rasa solidaritas sangat perlu sekali. Kita harus ikut memiliki kepedulian terhadap orang lain yang mengalami penderitaan. Kita harus menunjukkan kasih kita kepada mereka, bukan sebaliknya ikut terus-menerus menangis seperti orang yang tidak percaya. Kita dapat memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang tidak memilikinya, mengunjungi dan memperhatikan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Jika bencana yang terjadi dialami oleh kita yang sudah percaya dan beriman sungguh-sungguh kepada Kristus, kita harus menyadari bahwa seringkali penderitaan itu sendiri diijinkan dan dipakai oleh Allah untuk menyucikan iman kita. Karena kita juga dipanggil untuk berani menghadapi penderitaan. Allah tidak pernah meminta kita untuk mengerti. Yang kita perlukan hanyalah percaya kepadaNya sama seperti kita juga hanya meminta anak-anak kita untuk memepercayai kasih kita. Saya tidak mengerti apa yang menjadi penderitaan terberat dan terbesar Anda saat ini. Tetapi saya tahu, tidak ada penderitaan yang melebihi kesanggupan kita untuk menaggungnya, karena Tuhan telah memberikan kemampuan didalam diri kita. Seringkali kita tidak menyadari kemampuan ini. Di dalam penderitaan, seringkali kita merasa seperti Tuhan telah membiarkan kita seorang diri, tetapi sebenarnya tidak demikian. Sesungguhnya Tuhan tidak meninggalkan kita. Ia tidak pernah membuang kita. Karena Ia berjanji tidak akan pernah meningalkan dan membiarkan kita (Ibrani 13:5). Bahkan ketika seolah-olah kita dibiarkan berjalan sendiri, maka mata Tuhan akan semakin tajam memperhatikan kita anak-anakNya (Amsal 15:3). Maukah Anda mempercayai hal ini? Jika kita mempercayai hal ini, maka dengan perasaan lega, tenang serta gembira, kita dapat mengaminkan bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita semua.”